TEMPO.CO, Jakarta - Cina meminta Indonesia menyetop pengeboran minyak dan gas (migas) di Laut Natuna Utara—dulu Laut Cina Selatan. Permintaan ini bermula dari klaim Negeri Tirai Bambu terhadap wilayah sembilan garis putus-putus atau Nine Dash Line yang masih menjadi polemik.
Salah satu surat dari diplomat Cina kepada Kementerian Luar Negeri meminta Indonesia menghentikan pengeboran di rig lepas pantai karena berada di wilayah negaranya. Protes Cina terhadap pengeboran di Laut Natuna itu sudah berlangsung lama.
Hak kelola salah satu lapangan gas alam di Natuna, seperti East Natuna, kini berada di tangan PT Pertamina (Persero). Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Rahdi, mengatakan Pertamina tetap melanjutkan pengeboran di wilayah tersebut kendati ada permintaan dari Cina.
Alasannya, Indonesia menganggap East Natuna bagian tak terpisahkan dari Tanah Air. Berdasarkan aturan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNCLOS, zona ekonomi eksklusif ialah wilayah sejauh 200 mil laut dari garis pangkalan tempat lebar laut teritorial diukur. Di perairan itu, Indonesia punya hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi serta konservasi sumber daya alam.
Namun, Fahmy melihat produksi sumur eksisting di East Natuna oleh perusahaan pelat merah cenderung menurun. “Disebabkan East Natuna sudah dieksploitasi bertahun-tahun. Pertamina harus menggunakan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumur tersebut atau mulai melakukan eksplorasi sumur-sumur baru di sekitarnya,” kata Fahmy saat dihubungi pada Jumat petang, 3 Desember.
Dia menyebut saat ini Pertamina masih enggan mengeluarkan dana investasi untuk pengembangan wilayah sumur. Padahal ketimbang investasi di hulu migas luar negeri, Fahmy berujar, akan lebih baik Pertamina menanamkan investasi di hulu migas dalam negeri, termasuk di wilayah sekitar East Natuna, yang memiliki potensi cukup besar.